Sabtu, 04 April 2015




Jurnalisme warga yang sering diartikan sebagai berita yang dikirim untuk media oleh warga biasa tanpa latar belakang jurnalisme merupakan konsep yang berbeda dengan public journalism/jurnalisme publik. Jurnalisme publik, yang sering dipakai bergantian dengan civic journalism, pada dasarnya dikembangkan oleh wartawan profesional menyikapi meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap media dan kesinisan publik terhadap politik di Amerika Serikat sekitar tahun 1988. Kritik pedas terhadap standar dan arogansi media membawa media berpikir tentang fungsi dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan bagaimana wartawan lebih responsif dengan masalah yang menjadiperhatian masyarakat, inilah yang dikenal sebagai jurnalisme publik. jurnalisme warga ini lebih dikenal dan populer melalui medium internet. Outing (2005) membuat kategori jurnalisme warga yang ada di situs internet sebagai berikut:
1.       Situs internet mengundang komentar dari masyarakat. Pembaca diperbolehkan untuk bereaksi, mengkritik, memuji atau memberi tambahan ke berita yang ditulis oleh wartawan professional. Berita tambahan dan foto dari pembaca yang disandingkan dengan berita utama dari wartawan professional juga bisa dipakai.
2.       Liputan dengan sumber terbuka dimana reporter professional bekerja sama dengan pembaca yang tahu tentang suatu masalah. Berita tetap ditulis oleh reporter professional.
3.       Rumah blog. Situs internet yang mengundang pembaca untuk menampilkan blognya.
4.        Situs internet publik teredit dan tidak teredit dengan berita dari publik.
5.       Situs “reporter pro+warga” berita dari reporter profesional diperlakukan sama dengan berita dari publik. Ohmynews masuk dalam kategori ini.
6.       Wiki-jurnalisme yang menempatkanpembaca sebagai editor.
Blog dan situs web interaktif seperti situs jurnalisme warga terpopuler Ohmynews (www.ohmynews.com) di Korea Selatan yang berdiri tahun 2000 dan kini punya 40.000 reporter  arga dan 70 wartawan profesional adalah beberapa bentuk jurnalisme warga di internet. Jurnalisme warga Ohmynews berkembang pesat karena masyarakat Korea Selatan memerlukan media alternatif di tengah kuatnya kontrol tidak langsung dari pemerintah terhadap media meski kebebasan pers sudah ada. Di samping itu, masyarakat Korea Selatan juga sudah akrab dengan internet yaitu sekitar 30 juta atau 2/3 penduduknya terhubungkan dengan internet berkecepatan tinggi seperti yang tercantum dalam The National Internet Development Agency of Korea – NIDA di http://www.nic.or.kr/english (2004). Di Indonesia, jurnalisme warga ini justru berawal dari stasiun radio Elshinta sejak tahun 2000, dan hingga kini Elshinta punya 100.000 reporter warga. Namun, mainstream media lain seperti stasiun TV, media cetak, website di Indonesia terlihat masih enggan untuk mengadopsi jurnalisme warga dalam praktik jurnalisme mereka karena takut kehilangan kredibilitas, reputasi dan problem etika jurnalistik. Studi ini mencoba membedah faktor internal dan eksternal terhadap keberhasilan Elshinta serta apa yang membuat editor di Elshinta bereksperimen dengan jurnalisme warga. Ohmynews di Korea Selatan dipakai sebagai kerangka acuan untuk melihat relevansi keberhasilannya dengan Elshinta. Pertanyaan yang ingin diuji dalam studi ini adalah:
1.       Apa yang memotivasi pendengar di Indonesia untuk secara sukarela mengirim berita ke stasiun radio?
2.        Mengapa media cetak dan situs online di Indonesia terkesan enggan mengadopsi jurnalisme warga?
3.       Apa keuntungan dan kerugian menerapkan jurnalisme warga bagi mainstream media?
4.        Apa yang dapat diadopsi dan disaring oleh media lain di Indonesia dari pengalaman Ohmynews dan Elshinta?
Studi ini tidak akan menjelaskan sejarah Ohmynews dansi tuasi pers di Korea Selatan, karena Ohmynews akan dipakai sebagai titik pembelajaran terhadap pengembangan jurnalisme warga secara online di Indonesia.
Kompasiana adalah blog jurnalis Kompas yang bertransformasi menjadi sebuah media warga (citizen media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video.
Kompasiana menampung beragam konten dari semua lapisan masyarakat dari beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Kompasiana juga melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi, pendapat dan gagasan.
Di Kompasiana, setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya. Keterlibatan aktif warga ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tren jurnalisme warga seperti ini sudah mewabah di banyak negara maju sebagai konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna internet (netizen) menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video.
Kompasianer (sebutan untuk orang-orang yang beraktifitas di Kompasiana) juga dapat menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya.
Selain itu, Kompasiana menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antar-anggota. Setiap Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya.
Fasilitas dan fitur Kompasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah melakukan registrasi di www.kompasiana.com/registrasi. Begitu proses registrasi selesai, pengguna akan mendapatkan blog pribadi. Tanpa registrasi, pengguna hanya bisa membaca konten Kompasiana.
Dengan beragam fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat berbagi dan saling terhubung (sharing. connecting.) telah menjadi sebuah Media Sosial.
dari kasus diatas, saya berpedapat bahwa tidak setuju dengan adanya jurnalisme warga karena banyak jurnalis warga tidak mengerti tentang aturan-aturan tentang jurnalistik, sehingga ketika membuat suatu berita, mereka hanya menlis sesuai dengan apa yang ada di pikirannya, di lihat tanpa mematuhi etika penulisan jurnalistik.
 

0 komentar:

Posting Komentar