Jurnalisme
warga yang sering diartikan sebagai berita yang dikirim untuk media oleh warga
biasa tanpa latar belakang jurnalisme merupakan konsep yang berbeda dengan
public journalism/jurnalisme publik. Jurnalisme publik, yang sering dipakai
bergantian dengan civic journalism, pada dasarnya dikembangkan oleh wartawan
profesional menyikapi meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap media dan
kesinisan publik terhadap politik di Amerika Serikat sekitar tahun 1988. Kritik
pedas terhadap standar dan arogansi media membawa media berpikir tentang fungsi
dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan bagaimana wartawan lebih
responsif dengan masalah yang menjadiperhatian masyarakat, inilah yang dikenal
sebagai jurnalisme publik. jurnalisme warga ini lebih dikenal dan populer
melalui medium internet. Outing (2005) membuat kategori jurnalisme warga yang
ada di situs internet sebagai berikut:
1. Situs
internet mengundang komentar dari masyarakat. Pembaca diperbolehkan untuk
bereaksi, mengkritik, memuji atau memberi tambahan ke berita yang ditulis oleh
wartawan professional. Berita tambahan dan foto dari pembaca yang disandingkan dengan
berita utama dari wartawan professional juga bisa dipakai.
2. Liputan
dengan sumber terbuka dimana reporter professional bekerja sama dengan pembaca
yang tahu tentang suatu masalah. Berita tetap ditulis oleh reporter
professional.
3. Rumah
blog. Situs internet yang mengundang pembaca untuk menampilkan blognya.
4. Situs internet publik teredit dan tidak
teredit dengan berita dari publik.
5. Situs
“reporter pro+warga” berita dari reporter profesional diperlakukan sama dengan
berita dari publik. Ohmynews masuk dalam kategori ini.
6. Wiki-jurnalisme
yang menempatkanpembaca sebagai editor.
Blog dan situs
web interaktif seperti situs jurnalisme warga terpopuler Ohmynews
(www.ohmynews.com) di Korea Selatan yang berdiri tahun 2000 dan kini punya 40.000
reporter arga dan 70 wartawan
profesional adalah beberapa bentuk jurnalisme warga di internet. Jurnalisme
warga Ohmynews berkembang pesat karena masyarakat Korea Selatan memerlukan
media alternatif di tengah kuatnya kontrol tidak langsung dari pemerintah
terhadap media meski kebebasan pers sudah ada. Di samping itu, masyarakat Korea
Selatan juga sudah akrab dengan internet yaitu sekitar 30 juta atau 2/3
penduduknya terhubungkan dengan internet berkecepatan tinggi seperti yang
tercantum dalam The National Internet Development Agency of Korea – NIDA di
http://www.nic.or.kr/english (2004). Di Indonesia, jurnalisme warga ini justru
berawal dari stasiun radio Elshinta sejak tahun 2000, dan hingga kini Elshinta
punya 100.000 reporter warga. Namun, mainstream media lain seperti stasiun TV,
media cetak, website di Indonesia terlihat masih enggan untuk mengadopsi
jurnalisme warga dalam praktik jurnalisme mereka karena takut kehilangan
kredibilitas, reputasi dan problem etika jurnalistik. Studi ini mencoba membedah
faktor internal dan eksternal terhadap keberhasilan Elshinta serta apa yang membuat
editor di Elshinta bereksperimen dengan jurnalisme warga. Ohmynews di Korea
Selatan dipakai sebagai kerangka acuan untuk melihat relevansi keberhasilannya
dengan Elshinta. Pertanyaan yang ingin diuji dalam studi ini adalah:
1. Apa
yang memotivasi pendengar di Indonesia untuk secara sukarela mengirim berita ke
stasiun radio?
2. Mengapa media cetak dan situs online di
Indonesia terkesan enggan mengadopsi jurnalisme warga?
3. Apa
keuntungan dan kerugian menerapkan jurnalisme warga bagi mainstream media?
4. Apa yang dapat diadopsi dan disaring oleh
media lain di Indonesia dari pengalaman Ohmynews dan Elshinta?
Studi ini
tidak akan menjelaskan sejarah Ohmynews dansi tuasi pers di Korea Selatan,
karena Ohmynews akan dipakai sebagai titik pembelajaran terhadap pengembangan
jurnalisme warga secara online di Indonesia.
Kompasiana
adalah blog jurnalis Kompas yang bertransformasi menjadi sebuah media warga
(citizen media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan
pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar
ataupun rekaman audio dan video.
Kompasiana
menampung beragam konten dari semua lapisan masyarakat dari beragam latar
belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Kompasiana juga melibatkan
kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta
pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi
informasi, pendapat dan gagasan.
Di Kompasiana,
setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya
sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya.
Keterlibatan aktif warga ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan
memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tren
jurnalisme warga seperti ini sudah mewabah di banyak negara maju sebagai
konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna
internet (netizen) menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto
dan video.
Kompasianer
(sebutan untuk orang-orang yang beraktifitas di Kompasiana) juga dapat
menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan maupun tanggapan sepanjang tidak
melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang tayang di Kompasiana
menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya.
Selain itu,
Kompasiana menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antar-anggota. Setiap
Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka juga dapat
berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya.
Fasilitas dan
fitur Kompasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah
melakukan registrasi di www.kompasiana.com/registrasi. Begitu proses registrasi
selesai, pengguna akan mendapatkan blog pribadi. Tanpa registrasi, pengguna
hanya bisa membaca konten Kompasiana.
Dengan beragam
fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat
berbagi dan saling terhubung (sharing. connecting.) telah menjadi sebuah Media
Sosial.
dari kasus diatas, saya berpedapat bahwa tidak setuju dengan adanya jurnalisme warga karena banyak jurnalis warga tidak mengerti tentang aturan-aturan tentang jurnalistik, sehingga ketika membuat suatu berita, mereka hanya menlis sesuai dengan apa yang ada di pikirannya, di lihat tanpa mematuhi etika penulisan jurnalistik.
dari kasus diatas, saya berpedapat bahwa tidak setuju dengan adanya jurnalisme warga karena banyak jurnalis warga tidak mengerti tentang aturan-aturan tentang jurnalistik, sehingga ketika membuat suatu berita, mereka hanya menlis sesuai dengan apa yang ada di pikirannya, di lihat tanpa mematuhi etika penulisan jurnalistik.
0 komentar:
Posting Komentar